Frustasi

Frustrasi, dari bahasa Latin frustratio, adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus ke stress.

Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain. Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau tidak kunjung mendapatkan jodoh 😀

Frustrasi bisa jadi merupakan respon emosional yang umum terjadi pada diri setiap manusia.

Rasa frustrasi terkait dengan kemarahan atau kekecewaan, ia muncul dari perlawanan jiwa atas sesuatu yang dianggap kurang atau ketidak mampuan untuk mencapai sesuatu. Semakin besar halangan, dan rintangan, mungkin rasa frustrasi akan sering menghampiri. Penyebab frustasi bisa karena factor internal atau eksternal.

Pada orang, frustrasi internal yang mungkin timbul dari tantangan dalam memenuhi tujuan pribadi dan keinginan, dorongan-dorongan insting dan kebutuhan, atau terlalu banyak berurusan dan memikirkan kekurangan yang dirasakan, seperti kurang percaya diri atau takut terhadap situasi sosial. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi, ketika seseorang memiliki tujuan yang bersaing dengan orang lain, dapat menciptakan disonansi kognitif.

Penyebab eksternal frustrasi melibatkan kondisi di luar individu, seperti jalan diblokir, atau macet total, bisa juga tugas yang sulit. Cara mengatasi frustrasi, beberapa individu mungkin terlibat dalam perilaku pasif-agresif, sehingga sulit untuk mengidentifikasi penyebab awal dari frustrasi mereka.

Penyebab

Untuk frustrasi secara individu, emosi biasanya dihubungkan dengan faktor eksternal yang berada di luar kendalinyanya. Meskipun frustrasi ringan karena faktor internal (misalnya kemalasan, kurangnya upaya) sering merupakan kekuatan positif (motivasi inspirasi), lebih parah yang menderita frustrasi patologis akan sering merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi mereka, ini yang menyebabkan frustrasi dan jika dibiarkan biasanya menimbulkan kemarahan yang tak terkendali.

Rasa frustrasi dapat menghilangkan perilaku optimis dalam diri manusia. Seorang menanggapinya dengan beberapa cara berbeda. Dia mungkin menanggapi dengan rasional serta mencari metode untuk memecahkan masalah. Ketika gagal, dia mungkin menjadi frustrasi dan bersikap tidak rasional.

Contoh penyumbatan energi motivasi, dalam kasus ini misalkan seorang pekerja yang ingin izin bekerja tapi ditolak oleh atasannya. Contoh lain ketika seseorang yang membutuhkan pekerjaan dan selalu gagal/di tolak di perusahaan dia melamar karena tidak memiliki kualifikasi tertentu.

Frustrasi dapat dianggap sebagai masalah perilaku/respon, dan dapat memiliki sejumlah efek, tergantung pada mental individu masing-masing. Dalam kasus positif, frustrasi ini akan membangun motivasi besar untuk bersaing, dan dengan demikian menghasilkan sesuatu untuk memecahkan masalah yang melekat.

Dalam kasus-kasus negatif, bagaimanapun, individu dapat merasakan sumber frustrasi berada di luar kendali mereka, dan dengan demikian frustrasi akan terus membesar, yang akhirnya dengan bias berujung pada masalah perilaku kekerasan.

Contoh
Pekerja yang izin liburnya ditolak atasannya mungkin akan merasa marah. Jika ia cukup frustasi karena setiap izin tidak pernah dipenuhi, dia mungkin bisa saja menghajar atasannya.

Dalam keadaan frustasi seseorang menjadi lebih sensitif dan terkadang tidak dapat mengontrol emosinya.

Frustrasi mungkin sesuatu yang sulit untuk kita hindari, tapi setidaknya selalu berfikir positif atas setiap masalah yang ada bias sedikit menjauhkan rasa frustasi dari dalam diri kita.

mbahgoogle.com

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Apa itu Persepsi

Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Perilaku individu seringkali didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri.

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut dibuat. Asumsi Yang Didasarkan Pada Pengalaman Masa Lalu dan Persepsi Persepsi yang dipengaruhi oleh asumsi – asumsi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dikemukakan oleh sekelompok peneliti yang berasal dari Universitas Princenton seperti Adelbert Ames, Jr, Hadley Cantril, Edward Engels, William H. Ittelson dan Adelbert Amer, Jr. Mereka mengemukakan konsep yang disebut dengan pandangan transaksional (transactional view). Konsep ini pada dasarnya menjelaskan bahwa pengamat dan dunia sekitar merupakan partisipan aktif dalam tindakan persepsi. Para pemikir transaksional telah mengembangkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa persepsi didasarkan pada asumsi. Salah satu yang paling menonjol, yang ditemukan oleh Adelbert Amer, Jr., disebut monocular distorted room. “Ruangan dibangun sedemikian rupa sehingga dinding belakang berbentuk trapesium, dimana jarak vertikal ke atas dan ke bawah pada sisi kiri dinding lebih panjang daripada jarak vertikal ke atas dan ke bawah pada sisi kanan dinding.

Dinding belakang terletak pada suatu sudut, sehingga sisi kiri terlihat lebih jauh ke belakang dari pada sisi kanan. Jika seorang pengamat berdiri di depan ruangan dan mengamati melalui sebuah lubang kecil, maka ruangan akan terlihat seperti sebuah ruangan yang benar – benar membentuk empat persegi panjang. Jika dua orang berjalan melalui ruangan dan berdiri pada sudut belakang, maka sesuatu yang menarik akan terjadi. Bagi si pengamat yang melihat melalui sebuah lubang, salah satu orang yang berada di sisi kanan akan terlihat sangat besar karena orang ini berada lebih dekat dengan si pengamat dan memenuhi keseluruhan ruangan antara lantai dan langit – langit.

Sedangkan orang yang berada di sisi kiri akan terlihat sangat kecil karena berada jauh dari si pengamat. Ilusi ini terjadi karena pikiran si pengamat mengasumsikan bahwa dinding belakang parallel dengan dinding depan ruangan. Asumsi ini berdasarkan pengalaman terdahulu yang menggunakan ruangan – ruangan lain yang mirip. Ilusi ini akan semakin kuat apabila dua orang yang berada di sudut yang berbeda tersebut saling bertukar tempat, maka salah satu akan terlihat lebih besar dan yang satunya lagi terlihat lebih kecil tepat di depan mata si pengamat ”(www.Britannica.com).

Teori persepsi hubungan

Teori hubungan adalah usaha ketika individu-individu mengamati perilaku untuk menentukan apakah hal ini disebabkan secara internal atau eksternal.

Jalan pintas dalam menilaiPersepsi selektif

persepsi selektif adalah menginterpretasikan secara selektif apa yang dilihat seseorang berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap seseorang.

Efek halo

Efek halo adalah membuat sebuah gambaran umum tentang seorang individu berdasarkan sebuah karakteristik. Ketika membuat sebuah kesan umum tentang seorang individu berdasarkan sebuah karakteristik, seperti kepandaian, keramahan, atau penampilan, efek halo sedang bekerja. Kenyataan akan efek halo diperkuat dalam sebuah penelitian, yaitu saat para pelaku diberi daftar sifat seperti pandai, mahir, praktis, rajin, tekun, dan ramah, kemudian diminta untuk mengevaluasi individu dengan sifat-sifat tersebut diberlakukan.Ketika sifat-sifat itu digunakan, individu tersebut dinilai bijaksana, humoris, populer, dan imajinatif. Ketika daftar yang sama dimodifikasi diperoleh serangkaian persepsi yang sama sekali berbeda.

Pembedaan dengan sensasi

Istilah persepsi sering dikacaukan dengan sensasi.Sensasi hanya berupa kesan sesaat, saat stimulus baru diterima otak dan belum diorganisasikan dengan stimulus lainnya dan ingatan-ingatan yang berhubungan dengan stimulus tersebut.<persepsi/> Misalnya meja yang terasa kasar, yang berarti sebuah sensasi dari rabaan terhadap meja.

Sebaliknya persepsi memiliki contoh meja yang tidak enak dipakai menulis, saat otak mendapat stimulus rabaan meja yang kasar, penglihatan atas meja yang banyak coretan, dan kenangan di masa lalu saat memakai meja yang mirip lalu tulisan menjadi jelek.

  1. Pengertian Persepsi

Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (dalam Arindita, 2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi mecakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus (Input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.

Leavitt (dalam Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.

Persepsi berarti analisis mengenai cara mengintegrasikan penerapan kita terhadap hal-hal di sekeliling individu dengan kesan-kesan atau konsep yang sudah ada, dan selanjutnya mengenali benda tersebut. Untuk memahami hal ini, akan diberikan contoh sebagai berikut: individu baru pertama kali menjumpai buah yang sebelumnya tidak kita kenali, dan kemudian ada orang yang memberitahu kita bahwa buah itu namanya mangga. Individu kemudian mengamati serta menelaah bentuk, rasa, dan lain sebagainya, dari buah itu secara saksama. Lalu timbul konsep mengenai mangga dalam benak (memori) individu. Pada kesempatan lainnya, saat menjumpai buah yang sama, maka individu akan menggunakan kesan-kesan dan konsep yang telah kita miliki untuk mengenali bahwa yang kita lihat itu adalah mangga (Taniputera, 2005).

Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.

Proses Persepsi dan Sifat Persepsi
Alport (dalam Mar’at, 1991) proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.
Walgito (dalam Hamka, 2002) menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut:

1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia.
2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris.
3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor.
4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu:
1) Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada.
2) Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi serta pengorganisasian informasi.
3) Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta pengetahuan individu.
Menurut Newcomb (dalam Arindita, 2003), ada beberapa sifat yang menyertai proses persepsi, yaitu:

1) Konstansi (menetap): Dimana individu mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda.
2) Selektif: persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang diterima dan diserap.
3) Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang berbeda-beda.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Thoha (1993) berpendapat bahwa persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dlam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik.
Dijelaskan oleh Robbins (2003) bahwa meskipun individu-individu memandang pada satu benda yang sama, mereka dapat mempersepsikannya berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang bekerja untuk membentuk dan terkadang memutar-balikkan persepsi. Faktor-faktor ini dari :

1) Pelaku persepsi (perceiver)
2) Objek atau yang dipersepsikan
3) Konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan
Berbeda dengan persepsi terhadap benda mati seperti meja, mesin atau gedung, persepsi terhadap individu adalah kesimpulan yang berdasarkan tindakan orang tersebut. Objek yang tidak hidup dikenai hukum-hukum alam tetapi tidak mempunyai keyakinan, motif atau maksud seperti yang ada pada manusia. Akibatnya individu akan berusaha mengembangkan penjelasan-penjelasan mengapa berperilaku dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, persepsi dan penilaian individu terhadap seseorang akan cukup banyak dipengaruhi oleh pengandaian-pengadaian yang diambil mengenai keadaan internal orang itu (Robbins, 2003).
Gilmer (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor belajar, motivasi, dan pemerhati perseptor atau pemersepsi ketika proses persepsi terjadi. Dan karena ada beberapa faktor yang bersifat yang bersifat subyektif yang mempengaruhi, maka kesan yang diperoleh masing-masing individu akan berbeda satu sama lain.
Oskamp (dalam Hamka, 2002) membagi empat karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang terdapat dalam persepsi, yaitu:

a. Faktor-faktor ciri dari objek stimulus.
b. Faktor-faktor pribadi seperti intelegensi, minat.
c. Faktor-faktor pengaruh kelompok.
d. Faktor-faktor perbedaan latar belakang kultural.
Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Faktor fungsional ialah faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan individu, usia, pengalaman masa lalu, kepribadian,jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat subjektif. Faktor struktural adalah faktor di luar individu, misalnya lingkungan, budaya, dan norma sosial sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam mempresepsikan sesuatu.
Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor pemersepsi (perceiver), obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan.

Aspek-aspek Persepsi
Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Allport (dalam Mar’at, 1991) ada tiga yaitu:

1. Komponen kognitif
Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut.
2. Komponen Afektif
Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya.
3. Komponen Konatif
Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya.

Baron dan Byrne, juga Myers (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa sikap itu mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.
3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
Rokeach (Walgito, 2003) memberikan pengertian bahwa dalam persepsi terkandung komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap merupakan predisposing untuk merespons, untuk berperilaku. Ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predis posisi untuk berbuat atau berperilaku.
Dari batasan ini juga dapat dikemukakan bahwa persepsi mengandung komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen konatif, yaitu merupakan kesediaan untuk bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap obyek sikap. Ketiga komponen itu saling berinterelasi dan konsisten satu dengan lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen tersebut.

Daftar Pustaka

Arindita, S. 2003.Hubungan antara Persepsi Kualitas Pelayanan dan Citra Bank dengan Loyalitas Nasabah. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi UMS.

Gerungan, W. A. 1996. Psikologi Sosial. (edisi kedua). Bandung : PT Refika Aditama.

Hamka, Muhammad. 2002. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pengawasan Kerja dengan Motivasi Berprestasi. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Fakultas Psikologi. Tidak diterbitkan.

Kotler, Philip. 2000. Marketing Manajemen: Analysis, Planning, implementation, and Control 9th Edition, Prentice Hall International, Int, New Yersey

Mar’at, 1991. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organisasi. Jilid I. Jakarta: PT INDEKS Kelompok Garmedia.

Rosyadi, I. 2001. Keunggulan kompetitif berkelanjutan melalui capabilities-based competition: Memikirkan kembali tentang persaingan berbasis kemampuan. Jurnal BENEFIT, vol. 5, No. 1, Juni 2001. Surakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset

Semoga Artikel Psikologi ini dapat membantu anda dalam memahami Persepsi, mencari teori-teori sebagai bahan pelengkap skripsi. Semoga bermanfaat

mbahgoogle.com

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Kāfir

Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur).[1]

Etimologi

Kāfir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup.

Pada zaman sebelum Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, menutup/mengubur dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa dimplikasikan menjadi “seseorang yang bersembunyi atau menutup diri”.

Jadi menurut syariat Islam, manusia kāfir terdiri dari beberapa makna, yaitu:

  • Orang yang tidak mau membaca syahadat.
  • Orang Islam yang tidak mau salat.
  • Orang Islam yang tidak mau puasa.
  • Orang Islam yang tidak mau berzakat.

Kata kāfir dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an, kitab suci agama Islam, kata kafir dan variasinya digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda:

  • Kufur at-tauhid (Menolak tauhid): Dialamatkan kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu.
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (Al-Baqarah ayat 6)
  • Kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat): Dialamatkan kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun). (Al-Baqarah ayat 152)
  • Kufur at-tabarri (melepaskan diri)
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)…” (Al-Mumtahanah ayat 4)
  • Kufur al-juhud: Mengingkari sesuatu
..maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya. (Al-Baqarah ayat 89)
  • Kufur at-taghtiyah: (menanam/mengubur sesuatu)
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar). (Al-Hadid 20)
SIAPAKAH YANG LAYAK DISEBUT KAFIR?
Dr. Yusuf Al-Qardhawi  menjelaskan secara singkat sbb :
Pertanyaan:   Siapakah sebenarnya yang layak dihukumi (disebut) kafir?  
Jawab:   Yang layak disebut kafir ialah orang yang dengan terang-terangan tanpa malu menentang dan memusuhi agama Islam, menganggap dirinya kafir dan bangga akan perbuatannya yang terkutuk.  
Bukan orang-orang Islam yang tetap mengakui agamanya secara lahir, walaupun dalamnya buruk dan imannya lemah, tidak konsisten antara perbuatan dan ucapannya. Orang itu dalam Islam dinamakan “munafik” hukumnya.   Di dunia dia tetap dinamakan (termasuk) orang Islam, tetapi di akhirat tempatnya di neraka pada tingkat yang terbawah.  
Di bawah ini kami kemukakan golongan (orang-orang) yang layak disebut kafir tanpa diragukan lagi, yaitu:  
1. Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
2. Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.
3. Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.   Al-Imam Ghazali pernah berkata:   “Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur.”  
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:   “Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam.”   Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Wew Serem juga ye bo !!
mbahgoogle.com
Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Vertigo

Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan dalam telinga bagian dalam sehingga menyebabkan penderita merasa pusing dalam artian keadaan atau ruang di sekelilingnya menjadi serasa ‘berputar’ ataupun melayang.

Definisi

Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar (2). Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo (sering juga disebut pusing berputar, atau pusing tujuh keliling) adalah kondisi di mana seseorang merasa pusing disertai berputar atau lingkungan terasa berputar walaupun badan orang tersebut sedang tidak bergerak.

Kelainan ini terjadi karena gangguan keseimbangan baik sentral atau perifer, kelainan pada telinga sering menyebabkan vertigo. Untuk menentukan kelainan yang menyebabkan vertigo,dokter THT-KL biasanya akan melakukan pemeriksaan ENG (elektronistagmografi).

Gejala

Penderita merasa seolah-olah dirinya bergerak atau berputar; atau penderita merasakan seolah-olah benda di sekitarnya bergerak atau berputar.

Diagnosa

Sebelum memulai pengobatan, harus ditentukan sifat dan penyebab dari vertigo.

Gerakan mata yang abnormal menunjukkan adanya kelainan fungsi di telinga bagian dalam atau saraf yang menghubungkannya dengan otak. Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Arah dari gerakan tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa dirangsang dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau dengan meneteskan air dingin ke dalam telinga.

Untuk menguji keseimbangan, penderita diminta berdiri dan kemudian berjalan dalam satu garis lurus, awalnya dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup.

Tes pendengaran seringkali bisa menentukan adanya kelainan telinga yang memengaruhi keseimbangan dan pendengaran.

Pemeriksaan lainnya adalah CT scan atau MRI kepala, yang bisa menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang menekan saraf.

Jika diduga suatu infeksi, bisa diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang.

Jika diduga terdapat penurunan aliran darah ke otak, maka dilakukan pemeriksaan angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke otak.

Pengobatan

Pengobatan tergantung kepada penyebabnya.Obat untuk mengurangi vertigo yang ringan adalah meklizin, dimenhidrinat, perfenazin dan skopolamin. Skopolamin terutama berfungsi untuk mencegah motion sickness, yang terdapat dalam bentuk plester kulit dengan lama kerja selama beberapa hari. Semua obat di atas bisa menyebabkan kantuk, terutama pada usia lanjut. Skopolamin dalam bentuk plester menimbulkan efek kantuk yang paling sedikit.

Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek; yang sering digambarkan sebagai rasa berputar, rasaoleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness); deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi, terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian.Vertigo – berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar – merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan.

Manusia, karena berjalan dengan kedua tungkainya, relatif kurang stabil dibandingkan dengan makhluk lain yang berjalan dengan empat kaki, sehingga lebih memerlukan informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan, selain itu diper-lukan juga informasi gerakan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya.Informasi tersebut diperoleh dari sistim keseimbangan tubuh yang melibatkan kanalis semisirkularis sebagai reseptor,serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah informasinya; selain itu fungsi penglihatan dan proprioseptif juga berperan dalam memberikan informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh.Sistim tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.Cermin Dunia Kedokt42eran No. 144, 2004Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yangberlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semi sirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbulvertigo,nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorikMenurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antaramata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidak-seimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan.Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar(yang berasal dari sensasi kortikal).Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik;menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang polagerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakangerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telahtersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.(Gb.2) Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomikTeori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebaga usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi; gejalaklinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan (Gb. 3).

5. Teori neurohumoral Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan terori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnyagejala vertigo.

6. Teori sinap Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat.Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicusekresi CRF (corticotropin releasing factor); peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik.Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibatdominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

mbahgoogle.com

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Monolog

Monolog adalah istilah keilmuan yang diambil dari kata mono yang artinya satu dan log dari kata logi yang artinya ilmu.Secara harfiah monolog adalah suatu ilmu terapan yang mengajarkan tentang seni peran dimana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu untuk melakukan adegan / sketsa nya . Kata monolog lebih banyak ditujukan untuk kegiatan seni terutama seni peran dan teater

Sejarah monolog sebenarnya sudah diperkenalkan sejak tahun 60-an pada saat itu pertelevisian tidak mengenal dubbing/pengisian suara oleh karena itu monolog banyak dipraktekkan untuk membuat film-film komedi / horror.Salah satu pengagas monolog yang terkenal adalah Charlie Chaplin.Monolog diperkenalkan pertama kali di Hollywood sektiar tahun 1964 lalu berkembang menjadi sarana seni dan teater dan sudah menjadi salah satu teori / pembelajaran dari karya seni teater.

Monolog adalah percakapan aktor seorang diri.
Pada mulanya, monolog merupakan salah satu bentuk latihan bagi seorang aktor. Dalam sebuah naskah drama biasanya terdapat pembicaraan panjang seorang tokoh di hadapan tokoh lain, dan hanya ia sendiri yang berbicara.

Cakapan tokoh inilah yang disebut monolog dan karena panjangnya cakapan, maka emosi perasaan dan karakter tokoh itu pun berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan. Perubahan emosi dan karakter inilah yang coba dilatihkan oleh aktor. Dinamika perbahan tersebut sangat menarik dan menantang untuk dimainkan.

Daya tarik permainan aktor dalam latihan monolog melahirkan permainan monolog secara mandiri. Pengarang menciptakan cerita monolog yang lepas dan bukan lagi merupakan bagian dari sebuah lakon.

Permainan aktor seorang diri ini akhirnya berkembang menjadi satu bentuk pertunjukan teater. Kreasi monolog terus berkembang hingga munculnya soliloquy dan monoplay. Jika dalam monolog, aktor berpurapura atau sedang berada di hadapan tokoh atau orang lain, maka dalam soliloquy tokoh tampil sendirian di atas panggung sehingga ia bisa dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, rahasia-rahasia hidupnya, harapan-harapannya, dan bahkan rencana jahatnya.

Sementara itu dalam monoplay, aktor harus bermain drama seorang diri. Kadang ia jadi tokoh tertentu tapi pada satu saat ia menjadi tokoh yang lain, dengan bermain seorang diri, aktor dituntut untuk bermain secara prima.

Eksplorasi yang dilakukan tidak hanya tertuju pada satu karakter atau satu ekspresi tetapi semua karakter dan ekspresi yang ada dalam cerita harus ditampilkan secara proporsional. Perpindahan dan perbedaan antara karakter satu dan lainnya harus jelas. Oleh karena itu, aktor betul-betul harus mempersiapkan diri dan mengerahkah segala kemampuannya untuk bermain monolog.

mbahgoogle.com

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Kejawen

Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.

Etimologi

Seorang petapa Jawa sedang bersamadhi di bawah pohon beringin di eraHindia Belanda 1916.

Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut “Agami Jawi”.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah“). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan denganKonfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.

Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejalasinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen)

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Meredupnya Pamor IQ

“Sementara psikometrika menawarkan daya tarik semu fakta obyektif, sains baru membawa kita kembali ke dalam kontak dengan sastra, sejarah, dan kemanusiaan, dan – pada akhirnya – ke keunikan individu.” (“The Waning of IQ“, David Brooks, IHT, 15-16/9/2007)

Hingga hari ini pun masih banyak orangtua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence quotient) di atas level normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi anak superior dengan IQ di atas 130. Harapan ini tentu sah saja. Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau genius kalau seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah ilmuwan yang IQ-nya disebut-sebut lebih dari 160.

Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan pengalaman memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi, tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi kurang penting untuk menapak tangga karier.

Untuk menapak tangga karier, ada sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya saja yang mewujud dalam seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam tim, seberapa bisa ia menenggang perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh orang lain.

Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan (aptitude test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal ini kemudian terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (1995).

Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak semata-mata ada pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika. Kecerdasan bisa ditemukan ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan juga pada seseorang yang pintar sekali memainkan raket atau menendang bola.

Untuk yang terakhir ini orang mudah mengingat karya Howard Gardner yang mengemukakan Teori Kecerdasan Berganda (Multiple Intelligences) dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Mutiple Intelligences (Basic Books, 1983).

Buku Gardner tampak berpengaruh besar karena setelah itu banyak pendidik yang lalu mengubah cara mengajarnya. Teori Gardner juga mengubah cara orang memandang IQ, dan juga persepsi tentang “menjadi pintar”. Mungkin perubahan paling penting ada pada cara pandang guru terhadap murid. Setelah itu guru memberikan perhatian lebih besar terhadap apa yang bisa dikerjakan lebih baik oleh murid, dan bukan pada apa yang tidak bisa mereka kerjakan.

Buku-buku berikut Gardner, seperti The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (Basic Books, 1991) danMultiple Intellligences: The Theory in Practice (Basic Books, 1993) memberikan gambaran lebih jauh tentang bagaimana kecerdasan berganda bisa membuat para guru mengajar dan mengevaluasi murid dengan cara baru dan lebih baik (education world.com, 16/2/1998).

Dalam Frames of Mind, Gardner, guru besar di Universitas Harvard, menyebut tujuh macam kecerdasan: kecerdasan linguistik (kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata-kata); kecerdasan logika-matematika (kecakapan dalam matematika dan sistem logika kompleks lainnya); kecerdasan musikal (untuk memahami dan mencipta musik); kecerdasan spasial (kecakapan “berpikir dalam gambar”, untuk memahami dunia visual secara akurat, lalu mencipta kembali (re-create) atau mengubah (alter) dalam pikiran atau di atas kertas. Kecerdasan spasial berkembang besar pada seniman, arsitek, perancang, dan pematung.

Kecerdasan yang kelima adalah kecerdasan tubuh-kinestetik yang diperlihatkan dalam kemampuan menggunakan tubuh dengan terampil, baik untuk ekspresi diri maupun untuk mencapai satu tujuan. Penari, pemain sepak bola, aktor, termasuk sosok yang memperlihatkan jenis kecerdasan ini.

Yang keenam adalah kecerdasan antarpribadi (interpersonal), yakni kecakapan untuk memahami individu lain – suasana hati, keinginan, dan motivasinya. Pemimpin politik dan agama, orang tua dan guru yang arif, juga penyembuh, banyak menggunakan jenis kecerdasan ini.

Lalu yang ketujuh adalah kecerdasan intrapersonal, yakni kecakapan untuk mengerti emosi sendiri. Sejumlah konselor, juga novelis, menggunakan pengalaman pribadi untuk membimbing orang lain.

Kecerdasan kedelapan kemudian dimunculkan Gardner dalam percakapan dengan Kathy Checkley dalam satu wawancara Kepemimpinan Edukasional. Yang dimaksud di sini ternyata kecerdasan lingkungan (naturalis), yakni kecakapan untuk mengenali dan menggolong-golongkan tanaman, mineral, dan binatang, juga batuan dan rerumputan, atau flora dan fauna secara umum. Kemampuan untuk mengenali artifak budaya boleh jadi juga masuk dalam kecerdasan naturalis ini. Tentu saja sosok yang pasti unggul dalam hal ini adalah Charles Darwin.

IQ Meredup

Dalam lingkup yang lebih luas itu, IQ – yang dalam satu masa pernah menjadi metode andal untuk menangkap kemampuan mental seseorang-kini tampak meredup. Dengan IQ, dulu banyak diyakini orang terlahir dengan ukuran cc mesin pengolah informasi tertentu. Yang pintar punya Daya Kuda lebih besar daripada yang rata-rata.

Sayangnya, kemudian diketahui masih ada yang belum memuaskan dengan IQ. Di luar penjelasan Gardner itu, orang sulit berkonsensus tentang kecerdasan. Ada yang berpendapat kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan lainnya beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, dan seterusnya.

Lalu ada pola aneh dalam paham itu. Misalnya, pada abad lalu, rata-rata IQ naik dengan laju 3 sampai 6 poin per dekade. Gejala yang dikenal sebagai Efek Flynn ini terukur di banyak negara dan berlaku untuk semua kelompok usia (David Brooks, “The Waning IQ“, IHT, 15-16/9/2007).

Catatan lain adalah IQ banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang yang tumbuh di kehidupan miskin membuat kecerdasannya tumbuh buruk, kata Eric Turkheimer dari Universitas Virginia. Hal yang sama juga terjadi jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang secara emosional menekan.

Dengan berbagai catatan yang ada, IQ oleh Brooks disebut sebagai kotak hitam, yang bisa mengukur sesuatu, tetapi tidak jelas apa itu. Ia juga tak bisa digunakan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan seseorang dalam hidupnya.
Para peneliti dewasa ini lalu mengalihkan perhatian, tidak lagi pada kekuatan otak semata. Menilai kecerdasan kini sudah tak lagi seperti mengukur tenaga kuda dalam sebuah mesin, tetapi lebih seperti menonton balet. Kecepatan dan kekuatan yang diperlihatkan penari adalah bagian dari kecerdasan, dan unsur itu bisa diukur secara numerik. Namun, intisari aktivitas balet hanya ditemukan dalam irama gerak, keanggunan, dan kepribadian, sifat yang merupakan produk campuran dari emosi, pengalaman, motivasi, dan keturunan.

Riset otak mutakhir, kata Brooks, sudah tidak lagi mereduksi segala hal ke dalam impuls listrik dan denyut yang bisa dikuantifikasi, tetapi pada segi yang justru meningkatkan penghargaan orang terhadap kompleksitas dan keragaman manusia.
Tampak bahwa IQ memang masih jauh dari mencukupi untuk memersepsikan seseorang. Potensi yang dikandung pada individu ber-IQ tinggi rupanya masih perlu dilengkapi dengan kecerdasan lain untuk menciptakan sukses tidak saja dalam karier, tetapi juga dalam kehidupan.

Sumber: Kompas, 19/09/07

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Departemen Perdagangan Pendidikan

Dalam rangka reformasi pendidikan, pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang “Badan Hukum Pendidikan” atau BHP.
BHP adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal, pendirinya pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dua kali saya baca dan merenungi rancangan BHP ini.

Mengubah nama
Rencana ini tidak konsekuen. Seharusnya mencantumkan pasal penyempurnaan berupa perubahan nama ‘Departemen Pendidikan Nasional’ (Depdiknas) menjadi “Departemen Perdagangan Pendidikan” (Depdagpen). Atau, demi efisiensi, menutup Depdiknas, semua kegiatan ditransfer ke Departemen Perdagangan, menjadi ‘Direktorat Jenderal Perdagangan Pendidikan’. Dengan demikian, pemerintah menghemat pengeluaran untuk gaji dan fasilitas menteri, dirjen, direktur, dan lainnya.

Ada pertanyaan menggelitik. Apakah saat menyusun konsep rancangan BHP, pemerintah sejak awal menyertakan (staf) Depdiknas? Jika ‘tidak’, bunyi yang tersurat dan tersirat dari rancangan itu sungguh melecehkan eksistensi Depdiknas. Jika jawabannya “ya”, (staf) Depdiknas sendiri ternyata melecehkan diri sendiri. Jika demikian, Depdiknas dibubarkan saja karena tidak menghayati lagi esensi pendidikan, mengingkari makna dan misi suci kelembagaannya bagi Negara-Bangsa Indonesia.
Pemerintah tidak menyadari dua dasar. Pertama, hasil kerja iptek memang bisa, boleh, dan pantas dijual. Namun, pendidikan ke arah penguasaan skills ke-iptek-an tak selayaknya diperdagangkan. Any scientific knowledge is public knowledge!
Kedua, demokrasi dalam pendidikan adalah mutu tinggi bagi jumlah anak didik yang semakin besar karena tidak dibatasi pada yang mampu membayar saja. Inilah gunanya kebijakan “Wajib Belajar”, sebisa mungkin hingga SMA. Bukankah menurut rancangan ini pendidikan diselenggarakan secara ‘demokratis’.

Tanpa visi, tanpa konsep
‘Semangat dagang’ itu jelas tercermin dalam Pasal 2, yang membenarkan pihak luar bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan, dengan modal sampai 49 persen.

Agar penyelenggaraan pendidikan bisa bermutu memang diperlukan dana memadai. Namun, dana ini baru menjadi positif-konstruktif setelah sebelumnya ada konsep pendidikan yang jelas. Konsep ini justru tidak ada. Dalam penjelasan atas rancangan ini, secara sumir disebutkan, sistem pendidikan nasional disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Mana visi ini? Angan- angan, day dream, bukan visi!

Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada pikiran konseptual, betapa pun “kecil” konsep itu. Adapun mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung “menelan saja” pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah.
Jadi keberadaan konsep jauh lebih menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan “nasional”. Konsep/visi yang jelas dan telah disepakati bersama amat penting sebagai acuan kerja. Mengapa? Pertama, bagi pelaksanaan semua lembaga pendidikan, konsep/visi adalah batu ujian dalam menilai ketepatan atau penyimpangannya.

Kedua, konsep/visi untuk menghadapi kompleksitas alami, liku-liku bawaan zaman iptek dan proses globalisasi.
Ketiga, konsep/visi bagi penyusunan/perubahan/penyempurnaan kurikulum sebagai respons atas kompleksitas, liku-liku dan mengombinasikannya dengan aneka potensi alami Indonesia, nasional dan lokal. Dalam peresmian UI sebagai ‘Taman Sains’, Presiden Yudhoyono mengatakan, peran iptek diperbesar agar mampu bersaing di tingkat internasional.

Adapun dalam RUU BHP istilah ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disebut satu kali pun. Apakah secara implisit Presiden mengkritik RUU BHP? Sebagai kepala pemerintah, kalau Presiden tahu ada cacat dalam RUU BHP, mengapa meloloskannya ke DPR? Atau, Presiden belum pernah membaca RUU BHP itu?

Dalam penjelasan RUU, poin (e) menyebutkan, “pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”. Tidak jelas apakah dengan “berhitung” dimaksudkan ‘hitung dagang’ (hundelsrekenen). Yang jelas tidak disebut demi mengembangkan “budaya keilmuan”, sejalan makna ucapan Presiden di UI.

Berbagai tindakan aneh

Tidak heran jika dalam ‘komunitas nasiona’ kita belum memiliki ‘subkomunitas ilmiah’, lingkungan bekerja orang-orang berbudaya keilmuan, meski perguruan tinggi ada di mana-mana. Ketiadaan konsep pendidikan yang menyeluruh tercermin pada aneka tindakan yang “aneh” di bidang kegiatan kependidikan keilmuan. Ada pendirian “universitas riset”, padahal tugas utama yang diemban universitas di mana pun adalah pendidikan.

Nyaris semua pemenang Nobel adalah para dosen yang risetnya terkait pengembangan ilmu yang dikuliahkan, bukan demi nilai jual hasil risetnya. Belakangan hasil-hasil itu biasanya baru menjadi bahan bisnis industrial.
Jadi yang meriset bukan universitas sebagai lembaga, tetapi dosen sebagai persona ilmuwan. Sambil meriset dia menuntun para mahasiswanya melakukan riset, science in term of process, dan melalui kegiatan ini mengembangkan scientific spirit dalam diri anak-anaknya. Mereka inilah kelak yang menjadi staf peneliti di R & D departments dari perusahaan-perusahaan industrial.

Lembaga yang seharusnya melakukan riset di negeri ini adalah LIPI, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan masih ada Dewan Riset Nasional. Sementara itu, LIPI menciptakan gelar ‘profesor riset’, padahal ‘profesor’ adalah gelar jabatan akademis bagi persona yang mengajar di perguruan tinggi. Mungkin pertimbangannya demi kegairahan untuk meriset. Di masyarakat ada anggapan umum, ‘profesor’ adalah orang yang serba tahu. Di sinilah ‘keanehan’ itu. Alih-alih memperbaiki citra yang keliru dari orang-orang awam, lembaga ilmu pengetahuan malah menyesuaikan diri pada citra yang keliru.

Memang profesor adalah gelar jabatan bergengsi. Kegengsiannya itu bukan terletak pada ‘keserbatahuannya’, tetapi pada kenyataan, dia adalah persona yang men-transform, melalui ajarannya, ‘informasi’ (perolehan SD) menjadi ‘pengetahuan’ (di tingkat SMP, SMA), lalu menyempurnakannya lebih lanjut, dari ‘pengetahuan’ menjadi ‘pengetahuan ilmiah’ (ilmu pengetahuan) di perguruan tinggi. Idealnya, guru-guru di SMP sudah pantas diberi gelar professeur.

Sebagai keseluruhan apa yang tersurat dan tersirat dari RUU BHP, jelas mencerminkan hasrat pemerintah untuk lepas tanggung jawab konstitusional dan historisnya. Tanggung jawab konstitusional berupa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanggung jawab historis berupa menyiapkan masa depan bangsa melalui pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsanya.
Inikah kado istimewa bagi Ibu Pertiwi?

Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

Sumber: Kompas, 29/08/07

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Sekolah Rumah?

Belakangan ini kian marak pelaksanaan sekolah rumah (homeschooling), yaitu rumah dijadikan tempat pembelajaran anak.Anak-anak itu didampingi dan dibantu orangtua sendiri atau dibantu menguasai pengetahuan/keterampilan tertentu yang diberikan dalam proses pembelajaran privat.

oleh: Daoed Joesoef

Pelaksanaan sekolah rumah ada yang dilakukan oleh satu keluarga untuk keperluan anaknya sendiri, ada pula yang diwujudkan secara kolegial antara dua atau tiga keluarga bagi anak-anak mereka. Tempat belajar ditetapkan di satu rumah terus-menerus atau bergiliran di antara rumah keluarga-keluarga yang terlibat, bagai mekanisme arisan.

Kegagalan pendidikan

Kegiatan sekolah rumah ini jelas merupakan reaksi personal terhadap pelaksanaan pendidikan sekolah formal yang dewasa ini serba kacau dan penuh ketidakpastian. Adalah wajar bila orangtua mendambakan pendidikan yang dipercaya mampu memberi keturunannya suatu pegangan yang memadai bagi kehidupannya di masa depan, paling sedikit sebagai manusia individual. Di negara merdeka mana pun, pengadaan pendidikan yang ideal ini merupakan misi suci pemerintah, mengingat ia harus bisa menyiapkan warga (citizen) yang andal.

Untuk negara-bangsa kita, misi itu jelas tercermin dalam kalimat di Pembukaan UUD 45 yang menyatakan, Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk, antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maka, reaksi warga Indonesia mengadakan sekolah rumah dapat dikatakan bukti awal kegagalan misi pendidikan pemerintah nasional. Bila pendidikan privat jenis ini memarak dan menjadi pengganti (alternatif) pendidikan sekolah formal, dalam jangka panjang ia akan berakibat fatal bagi pertumbuhan anak Indonesia menjadi manusia yang bermasyarakat (homo socialis).

Sebagus apa pun pendidikan sekolah formal yang diusahakan pemerintah, termasuk di negara maju, ia tidak akan dapat memuaskan kehendak orangtua murid untuk memenuhi kebutuhan khusus anaknya terhadap pengetahuan/keterampilan tertentu. Karena menyadari bakat anaknya yang luar biasa di bidang musik atau sekadar demi mengisi waktu di luar sekolah dengan kegiatan-kegiatan positif-didaktis, misalnya, orangtua mendatangkan guru musik ke rumah. Atau mengingat daya tangkap anaknya yang relatif rendah dan lamban untuk pelajaran tertentu, orangtua meminta seorang tutor untuk membantunya di rumah.

Pelaksanaan pembelajaran di rumah seperti ini tergolong pendidikan keluarga (family education) yang baik karena tidak menjadi pengganti pendidikan sekolah formal, hanya sekadar berupa pelengkap. Hal ini sudah merupakan gejala biasa dalam proses pendidikan negeri maju di mana semangat kompetitif amat diagung-agungkan.

Para pengamat pendidikan Barat amat terkesan dengan peran ibu-ibu di Jepang—yang mereka sebut education mama—dalam membantu anaknya agar bisa masuk universitas terkemuka di negerinya. Dalam cuaca apa pun, para ibu itu mengantar dan menunggui anak-anaknya mengikuti pelajaran privat tambahan jauh sebelum mereka menempuh ujian masuk perguruan tinggi.

Memang pendidikan keluarga seharusnya erat bekerja sama dengan pendidikan sekolah formal. Artinya, orangtua dengan sadar dan sengaja berperan sebagai guru kedua di rumah setelah guru berperan sebagai orangtua kedua di sekolah.

Kerja sama ini juga demi mengimbangi berbagai akibat buruk bagi pertumbuhan kemanusiaan anak yang berasal dari pendidikan di dan oleh masyarakat yang secara spesifik tidak jelas menjadi tanggung jawab siapa.

Lain halnya dengan sekolah (pendidikan) di rumah yang dijadikan pengganti pendidikan formal. Di sini anak tidak lagi mendapat pelajaran di sekolah, tetapi hanya di rumah. Jenis sekolah rumah seperti inilah yang sebaiknya tidak dibiasakan karena bisa merusak pertumbuhan anak menjadi manusia yang bermasyarakat.

Seburuk-buruk pembelajaran di sekolah, ia tetap merupakan kesempatan anak untuk belajar bersosialisasi. Dengan bersekolah, untuk pertama kalinya anak diinisiasi mengenal, lalu bergaul dengan orang-orang yang bukan kerabatnya. Bahkan ada kalanya di saat bersekolah itulah dia mulai belajar “berpisah” dari ibu dan bapaknya untuk belajar tegak di atas kaki sendiri, di bawah bimbingan orang-orang asing, berupa guru dan teman.

Memang, di sekolah ini pula si anak akan mengalami penekanan secara mental dan fisik, mungkin ditambah gangguan dalam pelajaran pergi-pulang sekolah. Namun, bukankah hal-hal “pahit” itu merupakan gambaran nyata dari kehidupan yang bakal ditempuhnya sepanjang hayat sebagai makhluk bermasyarakat?

Dia mulai disadarkan, manusia bukan sebuah pulau yang terpisah menyendiri. Mau tidak mau dia akan berhubungan dengan orang-orang yang berbeda asal-usul keturunan/kedaerahan, berlainan kepercayaan dan bahasa ibu, serta berseberangan pendapat/pendirian mengenai berbagai masalah yang sama, dengan karakter berlawanan, dengan citra terpuji yang diunggulkan orangtuanya.

Namun, bukankah di lingkungan sekolah pula tidak jarang terjadi hal-hal “manis” yang tidak terpikirkan sebelumnya. Yang menjadi kenangan abadi di hari tua, membuatnya bernostalgia, bereuni sebisa mungkin dengan teman-teman tempo doeloe.

Sejujurnya, inisiasi human melalui persekolahan ini jauh lebih diperlukan anak dari keluarga berada di kota yang rumahnya berpagar tinggi ketimbang anak keluarga tak berpunya di kampung yang biasa hidup bertetangga secara spontan sejak lahir.

Makhluk bermasyarakat

Di negara-negara maju, sekolah rumah bukan tidak ada. Kebiasaan ini “terpaksa” dilakukan keluarga yang hidup terpencil karena kondisi kerja yang harus dipenuhi; misalnya, menjaga hutan dan national park, mengurus mercu suar, menjalankan perahu angkutan di jaringan kanal dalam negeri. Untuk ini, orangtua dibantu buku-buku dan siaran televisi yang khas untuk keperluan pendidikan privat jarak jauh.

Tulisan ini bukan bermaksud melecehkan hak asasi manusia dari setiap orangtua untuk memilih sendiri jenis pendidikan bagi keturunannya. Ia hanya ingin mengingatkan, hak itu berurusan dengan manusia yang by its very nature merupakan makhluk yang bermasyarakat dan karena itu memerlukan pendidikan yang relevan untuk bisa menjadi begitu.

Ia juga berniat menggugah pemerintah untuk serius membina lingkungan sekolah agar menjadi pusat budaya (sistem nilai) yang kondusif bagi perwujudan dua pengertian, citizenship dan res pubilica (manusia beradab yang bermasyarakat) serta manusia pemikir (homo sapiens).

Kewarganegaraan, baik sebagai fungsi maupun tanggung jawab, meliputi tidak hanya tugas dan kewajiban, tetapi juga hak dan wewenang. Sebab, dengan citizenship dalam kenyataan dimaksud sociality, mengingat tergolong civil society berarti dikaruniai seperangkat wewenang dan hak tertentu untuk mengembangkan dan menyempurnakan diri di masyarakat tanpa harus terkait hak-hak kewarganegaraan menurut artian murni, yaitu politik.

Homo sapiens pantas ditanggapi sebagai the crown of the creation. Berbeda dengan orangutan, penyu, atau elang rajawali, manusia yang berpikir tidak beroperasi sebagai individu-individu yang tersebar secara acak di suatu wilayah, tetapi sebagai pemegang andil dalam khazanah kolektif dari acquired knowledge and skills yang sebagian besar berupa kekaryaan dari generasi-generasi pendahulu. Artinya, sebelum dimatangkan menjadi makhluk yang berpikir, anak manusia harus lebih dulu disiapkan sebagai makhluk beradab yang bermasyarakat. Dan, sejarah human membuktikan sistem pendidikan sekolah formal yang dikonsepkan dengan baik mampu menyiapkan dan mematangkan hal-hal yang disebut tadi.

Tanpa keberadaan warga yang berupa homo sapiens yang tumbuh darihomo socialis, kehadiran Republik Indonesia di peta dunia merupakan kebetulan belaka.

Daoed Joesoef, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

Sumber: Kompas, 09/06/2007

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menimbang “Biokrasi”

Isu paling populer dalam diskusi politik belakangan ini adalah pemanasan global beserta segenap konsekuensinya bagi kehidupan manusia. Begitu populernya isu ini, berbagai media internasional (Time, Newsweek, Forbes, National Geographic, dan lainnya) secara virtual sepakat mengangkatnya sebagai kisah pada pekan-pekan belakangan.

oleh: Eep Saefulloh Fatah

Diskusi panas tentang pemanasan global menyentak kesadaran banyak kalangan ilmu politik tentang tak sensitif lingkungannya berbagai model demokrasi yang dipraktikkan di dunia saat ini. Demokrasi telah menelantarkan agenda lingkungan. Memang, demokrasi terbukti berhasil memperbaiki tata hidup politik, ekonomi, dan sosial di banyak tempat, tetapi tak bertuah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan beserta segenap dampaknya.

Bahkan, demokrasi liberal—yang menjadi model umum dalam Gelombang Ketiga Demokratisasi saat ini—terbukti tak ramah lingkungan. Demokrasi liberal yang hampir selalu berjodoh dengan ekonomi neoliberal menjadi penyumbang terbesar kerusakan lingkungan global.

Bagaimana model-model demokrasi lebih lanjut? Berbagai model—partisipatif, deliberatif, berorientasi gender, dan model-model “demokrasi yang kuat” (strong democracies) lainnya—telah diajukan untuk mengoreksi keterbatasan demokrasi liberal. Namun, meski mementingkan partisipasi, toleransi, keadilan gender, mandat, keterwakilan, dan akuntabilitas, model-model demokrasi lebih lanjut itu belum menimbang agenda lingkungan.

Maka, dengan mengecualikan sejumlah kasus—seperti negara-negara Skandinavia atau Eropa Utara—perluasan praktik demokrasi dalam tiga dekade terakhir justru memberi kontribusi bagi kenaikan laju kerusakan lingkungan. Seolah-olah, semakin berkembang demokrasi, semakin meluas kerusakan lingkungan.

Pada titik ini, Amerika Serikat (di bawah George W Bush) bisa menjadi contoh. Berdasar riset lembaga-lembaga pemantau lingkungan global, AS adalah pemberi kontribusi terbesar bagi kemunduran kualitas lingkungan dunia. Dan, Pemerintah AS adalah salah satu pemerintahan yang paling tak sensitif lingkungan di dunia.

Demokrasi yang sensitif lingkungan

Kegagalan demokrasi berdamai dengan lingkungan menyadarkan para ilmuwan politik tentang pentingnya menimbang lingkungan hidup dalam kerja demokrasi. Sejak 1980-an, berkembanglah teori-teori “demokrasi yang sensitif lingkungan”. Sejumlah terminologi baru dalam khazanah demokrasi pun diperkenalkan.

Misalnya, “ekodemokrasi” (ecodemocracy) dan “demokrasi hijau” (green democracy). Secara umum, yang ditawarkan adalah konsep pengintegrasian dimensi lingkungan hidup ke dalam proses dan hasil demokrasi. “Sensitivitas lingkungan hidup” diperkenalkan sebagai ukuran tambahan untuk menilai kualitas praktik demokrasi.

Demokrasi pun dihadapkan pada aneka tuntutan baru. Ia dituntut membangun sistem politik yang sensitif lingkungan (green policies). Dituntut tersedia dan aktifnya partai-partai sensitif lingkungan yang menjadikan lingkungan hidup sebagai platform utamanya (green parties). Kebijakan pun harus mampu menimbang aspek lingkungan (green policies). Anggaran belanja negara dan daerah harus menimbang aspek lingkungan dan memobilisasi dana yang layak bagi pengelolaan lingkungan (green budget). Bahkan, para pejabat publik dan politisi dituntut punya sensitivitas lingkungan yang layak (green politicians).

Perkembangan literatur ilmu politik era 1980-an berlanjut hingga kini. Menurut sejumlah catatan, musim semi perdebatan tentang perlunya “demokrasi yang sensitif lingkungan” mengalami pasang naik paling mengesankan dalam dekade terakhir.

Pada titik itu, sejumlah kemajuan telah dicapai. Pertama, perdebatan bergeser dari wilayah intelektual dan moral (sebagai isu gerakan sosial pro-lingkungan) ke wilayah politik (sebagai bahan perumus kebijakan publik).

Kedua, perdebatan bergerak dari pembentukan terminologi dan konsep baru ke arah pengujian kelayakan konsep dalam praktik demokrasi.

Ketiga, perdebatan bergerak dari sekadar perumusan model ekodemokrasi ke arah perancangan desain institusi bagi pengintegrasian dimensi lingkungan ke dalam proses dan hasil demokrasi.

Biokrasi

Tentu, perdebatan masih jauh dari selesai. Model demokrasi yang sensitif lingkungan sama sekali belum menjadi model populer dalam praktik demokrasi saat ini. Di tingkat teori dan konsep, gagasan ini belum penuh terelaborasi. Dalam kerangka ini, buku Political Theory and the Ecological Challenge (2006), dieditori Andrew Dobson dan Robyn Eckersley (keduanya profesor ilmu politik), oleh Cambridge University Press, terbit tepat waktu.

Di antara berbagai elaborasi filosofis dan teoretis tentang tantangan ekologi bagi teori-teori demokrasi yang ditulis para sarjana representatif, Terence Ball memperkenalkan gagasan “biokrasi”. Seperti tercermin dari namanya, biokrasi adalah pemerintahan yang menimbang makhluk hidup. Maka, dalam biokrasi, bukan saja manusia yang mesti ditimbang dan diwakili kepentingannya, tetapi juga binatang, ekosistem, dan generasi mendatang.

Ball menafsirkan ulang konsep-konsep dasar dalam demokrasi, semisal konsep keterwakilan atau representasi. Seperti tercermin dari rangkaian kata pembentuknya, representasi (re-present-ation) adalah menghadirkan kembali sesuatu yang sejatinya tak hadir di sekitar pejabat publik yang bertugas mewakili (representator). Dalam konteks ini, posisi binatang, ekosistem, dan generasi mendatang sebenarnya sama dengan publik atau pemilih. Mereka sama-sama tak hadir dan mesti dihadirkan.

Pengkritik gagasan biokrasi boleh jadi berkilah. Manusia harus diwakili karena mereka memilih. Bukankah binatang, ekosistem, dan generasi mendatang tak ikut memilih? Mengapa harus diwakili?

Ball dan para penganjur biokrasi punya jawaban standar. Bukankah anak-anak di bawah umur, orang tak waras, mereka yang sakit keras, dan penganut golongan putih (yang situasional-temporer maupun yang ideologis-permanen) juga tak ikut memilih? Akan tetapi, bukankah kerja demokrasi tetap harus menimbang mereka?

Biokrasi relatif merupakan gagasan baru, apalagi bagi kita di Indonesia. Di sini, kritik Daniel Bell (1999)—yang sebenarnya ditujukan kepada demokrasi deliberatif—bisa dipinjam. Menyampaikan dan mempertahankan secara elegan sebuah gagasan, tulis Bell, adalah satu tugas. Memikirkan bagaimana mengimplementasikannya adalah tugas berikut. Memang masih terbentang tugas membuat biokrasi tak saja layak di level diskusi, tetapi juga praktis. Kolom ini sendiri baru sebuah permulaan yang butuh elaborasi lanjutan.

Yang jelas, kini biokrasi kita menghadapi tantangan defisitnya politisi yang mampu berpikir panjang dan jauh ke depan. Bukankah politisi kita umumnya lebih senang memikirkan bagaimana memenangkan pemilihan mendatang ketimbang memikirkan bagaimana memperbaiki nasib generasi mendatang?

EEP SAEFULLOH FATAH, Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia; Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sumber: Kompas,

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar