Menimbang “Biokrasi”

Isu paling populer dalam diskusi politik belakangan ini adalah pemanasan global beserta segenap konsekuensinya bagi kehidupan manusia. Begitu populernya isu ini, berbagai media internasional (Time, Newsweek, Forbes, National Geographic, dan lainnya) secara virtual sepakat mengangkatnya sebagai kisah pada pekan-pekan belakangan.

oleh: Eep Saefulloh Fatah

Diskusi panas tentang pemanasan global menyentak kesadaran banyak kalangan ilmu politik tentang tak sensitif lingkungannya berbagai model demokrasi yang dipraktikkan di dunia saat ini. Demokrasi telah menelantarkan agenda lingkungan. Memang, demokrasi terbukti berhasil memperbaiki tata hidup politik, ekonomi, dan sosial di banyak tempat, tetapi tak bertuah menghadapi ancaman kerusakan lingkungan beserta segenap dampaknya.

Bahkan, demokrasi liberal—yang menjadi model umum dalam Gelombang Ketiga Demokratisasi saat ini—terbukti tak ramah lingkungan. Demokrasi liberal yang hampir selalu berjodoh dengan ekonomi neoliberal menjadi penyumbang terbesar kerusakan lingkungan global.

Bagaimana model-model demokrasi lebih lanjut? Berbagai model—partisipatif, deliberatif, berorientasi gender, dan model-model “demokrasi yang kuat” (strong democracies) lainnya—telah diajukan untuk mengoreksi keterbatasan demokrasi liberal. Namun, meski mementingkan partisipasi, toleransi, keadilan gender, mandat, keterwakilan, dan akuntabilitas, model-model demokrasi lebih lanjut itu belum menimbang agenda lingkungan.

Maka, dengan mengecualikan sejumlah kasus—seperti negara-negara Skandinavia atau Eropa Utara—perluasan praktik demokrasi dalam tiga dekade terakhir justru memberi kontribusi bagi kenaikan laju kerusakan lingkungan. Seolah-olah, semakin berkembang demokrasi, semakin meluas kerusakan lingkungan.

Pada titik ini, Amerika Serikat (di bawah George W Bush) bisa menjadi contoh. Berdasar riset lembaga-lembaga pemantau lingkungan global, AS adalah pemberi kontribusi terbesar bagi kemunduran kualitas lingkungan dunia. Dan, Pemerintah AS adalah salah satu pemerintahan yang paling tak sensitif lingkungan di dunia.

Demokrasi yang sensitif lingkungan

Kegagalan demokrasi berdamai dengan lingkungan menyadarkan para ilmuwan politik tentang pentingnya menimbang lingkungan hidup dalam kerja demokrasi. Sejak 1980-an, berkembanglah teori-teori “demokrasi yang sensitif lingkungan”. Sejumlah terminologi baru dalam khazanah demokrasi pun diperkenalkan.

Misalnya, “ekodemokrasi” (ecodemocracy) dan “demokrasi hijau” (green democracy). Secara umum, yang ditawarkan adalah konsep pengintegrasian dimensi lingkungan hidup ke dalam proses dan hasil demokrasi. “Sensitivitas lingkungan hidup” diperkenalkan sebagai ukuran tambahan untuk menilai kualitas praktik demokrasi.

Demokrasi pun dihadapkan pada aneka tuntutan baru. Ia dituntut membangun sistem politik yang sensitif lingkungan (green policies). Dituntut tersedia dan aktifnya partai-partai sensitif lingkungan yang menjadikan lingkungan hidup sebagai platform utamanya (green parties). Kebijakan pun harus mampu menimbang aspek lingkungan (green policies). Anggaran belanja negara dan daerah harus menimbang aspek lingkungan dan memobilisasi dana yang layak bagi pengelolaan lingkungan (green budget). Bahkan, para pejabat publik dan politisi dituntut punya sensitivitas lingkungan yang layak (green politicians).

Perkembangan literatur ilmu politik era 1980-an berlanjut hingga kini. Menurut sejumlah catatan, musim semi perdebatan tentang perlunya “demokrasi yang sensitif lingkungan” mengalami pasang naik paling mengesankan dalam dekade terakhir.

Pada titik itu, sejumlah kemajuan telah dicapai. Pertama, perdebatan bergeser dari wilayah intelektual dan moral (sebagai isu gerakan sosial pro-lingkungan) ke wilayah politik (sebagai bahan perumus kebijakan publik).

Kedua, perdebatan bergerak dari pembentukan terminologi dan konsep baru ke arah pengujian kelayakan konsep dalam praktik demokrasi.

Ketiga, perdebatan bergerak dari sekadar perumusan model ekodemokrasi ke arah perancangan desain institusi bagi pengintegrasian dimensi lingkungan ke dalam proses dan hasil demokrasi.

Biokrasi

Tentu, perdebatan masih jauh dari selesai. Model demokrasi yang sensitif lingkungan sama sekali belum menjadi model populer dalam praktik demokrasi saat ini. Di tingkat teori dan konsep, gagasan ini belum penuh terelaborasi. Dalam kerangka ini, buku Political Theory and the Ecological Challenge (2006), dieditori Andrew Dobson dan Robyn Eckersley (keduanya profesor ilmu politik), oleh Cambridge University Press, terbit tepat waktu.

Di antara berbagai elaborasi filosofis dan teoretis tentang tantangan ekologi bagi teori-teori demokrasi yang ditulis para sarjana representatif, Terence Ball memperkenalkan gagasan “biokrasi”. Seperti tercermin dari namanya, biokrasi adalah pemerintahan yang menimbang makhluk hidup. Maka, dalam biokrasi, bukan saja manusia yang mesti ditimbang dan diwakili kepentingannya, tetapi juga binatang, ekosistem, dan generasi mendatang.

Ball menafsirkan ulang konsep-konsep dasar dalam demokrasi, semisal konsep keterwakilan atau representasi. Seperti tercermin dari rangkaian kata pembentuknya, representasi (re-present-ation) adalah menghadirkan kembali sesuatu yang sejatinya tak hadir di sekitar pejabat publik yang bertugas mewakili (representator). Dalam konteks ini, posisi binatang, ekosistem, dan generasi mendatang sebenarnya sama dengan publik atau pemilih. Mereka sama-sama tak hadir dan mesti dihadirkan.

Pengkritik gagasan biokrasi boleh jadi berkilah. Manusia harus diwakili karena mereka memilih. Bukankah binatang, ekosistem, dan generasi mendatang tak ikut memilih? Mengapa harus diwakili?

Ball dan para penganjur biokrasi punya jawaban standar. Bukankah anak-anak di bawah umur, orang tak waras, mereka yang sakit keras, dan penganut golongan putih (yang situasional-temporer maupun yang ideologis-permanen) juga tak ikut memilih? Akan tetapi, bukankah kerja demokrasi tetap harus menimbang mereka?

Biokrasi relatif merupakan gagasan baru, apalagi bagi kita di Indonesia. Di sini, kritik Daniel Bell (1999)—yang sebenarnya ditujukan kepada demokrasi deliberatif—bisa dipinjam. Menyampaikan dan mempertahankan secara elegan sebuah gagasan, tulis Bell, adalah satu tugas. Memikirkan bagaimana mengimplementasikannya adalah tugas berikut. Memang masih terbentang tugas membuat biokrasi tak saja layak di level diskusi, tetapi juga praktis. Kolom ini sendiri baru sebuah permulaan yang butuh elaborasi lanjutan.

Yang jelas, kini biokrasi kita menghadapi tantangan defisitnya politisi yang mampu berpikir panjang dan jauh ke depan. Bukankah politisi kita umumnya lebih senang memikirkan bagaimana memenangkan pemilihan mendatang ketimbang memikirkan bagaimana memperbaiki nasib generasi mendatang?

EEP SAEFULLOH FATAH, Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia; Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

SumberKompas,

Tentang Vee Weee

Slowly
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar